Thursday, 10 June 2010
HP Tenaga Surya Untuk Petani
PT Indosat mewujudkan komitmen untuk memberikan layanan telekomunikasi kepada seluruh lapisan masyarakat dengan menghadirkan Telepon Seluler (Ponsel) Gaya (TenaGa SurYa). Sebuah ponsel bertenaga surya pertama di Indonesia, yang untuk tahap awal direncanakan untuk mendukung program Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok/ RDKK Online Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) bagi petani Indonesia.
Ponsel Gaya ini akan menjadi salah satu sarana pendukung untuk mewujudkan RDKK Online bagi petani Indonesia, bekerjasama dengan INKOPTAN (Induk Koperasi Tani dan Nelayan). yang akan diresmikan dalam waktu dekat.
Ponsel Gaya persembahan Indosat ini nantinya akan menjadi sarana komunikasi untuk rakyat /petani dengan menggunakan tenaga surya yang ramah lingkungan. "Dalam waktu dekat ponsel ini juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas," kata Johnny Swandi Sjam, Direktur Utama Indosat, Rabu (15/7) di Jakarta.
RDKK sendiri merupakan suatu aplikasi IT terintegrasi yang membantu petani untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi dalam kegiatan bertani yang akan dilakukan secara online dengan menggunakan fasilitas jaringan telekomunikasi nirkabel (GSM) sehingga petani bisa terbantu dengan cepat dan efisien.
Indosat yang selama ini juga dikenal sebagai perusahaan yang peduli lingkungan melalui program Indonesia Hijau, berupaya menghadirkan ponsel yang j uga ramah lingkungan, dengan memanfaatkan tenaga surya yang sangat murah dan melimpah, sehingga tidak perlu menggunakan tenaga listrik yang sumber dayanya di alam semakin berkurang.
Ponsel Gaya tidak kalah dengan ponsel umumnya yang bertenaga listrik biasa. Dengan desain yang cukup trendi, ponsel ini anti-shock, dust resistance untuk kegiatan luar ruang, dan memiliki power management berupa automatic charge jika terkena sinar matahari, apabila kapasitas baterai kurang dari 90 persen.
Dari sisi layanannya, ponsel Gaya hadir dengan harga yang sangat terjangkau yaitu Rp 480.000,- (termasuk PPN), dengan kartu Mentari yang menghadirkan banyak manfaat dan bonus antara lain bonus SMS sebanyak 50 SMS / setiap akumulasi isi ulang 20 ribu, bonus internetan 220 menit, bonus bicara 120 menit dan juga dapat digunakan untuk menikmati program Obral Obrol Mentari yaitu gratis bicara 60 menit ke sesama nomor Indosat dengan cara : ketik : obrol dan kirim ke 303. Ponsel Gaya akan dapat dinikmati oleh masyarakat umum pada akhir Juli mendatang.
Sumber : Kompas.com
Peluang Orientasi Pasar Internasional Hortikultura Indonesia pada Event 28th International Horticulture Congress And Exhibition, Lisboa, Spanyol

Pada event kegiatan Kongres dan Exhibition tahun 2010 ini yang menjadi tema adalah Science & Horticulture merupakan konferensi dunia pada ilmu-ilmu hortikultura, yang hanya berlangsung setiap empat tahun, di bawah perlindungan Masyarakat Internasional untuk Ilmu Hortikultura (ISHS). Event yang dilaksanakan di Lisboa, Spanyol ini 2010 di organisir oleh Portugal (Asosiasi Portugis Hortikultura) dan Spanyol (Spanyol Hortikultura & Ilmu Masyarakat) di Lisbon Congress Centre, di mana, selama seminggu, akan diselenggarakan colloquium, simposium, seminar, lokakarya dan session tematik. Tema fokus pada komponen ilmiah hortikultura tetapi juga interaksi antara ilmuwan, produsen, konsumen dan masyarakat. Pendaftaran terbuka, dan berlanjut sampai awal kongres. Pada kesempatan kongres dan exhibition ini diharapkan pelaku usaha hortikultura Indonesia, beserta scientist dapat mengikuti event ini, hal ini merupakan pembelajaran dan mencari peluang akses baru inovasi dan orientasi pasar untuk produk-produk hortikultura Internasional (Sumber: International Society for Horticultural Science (ISHS)., Data BPS, Data diolah F. Hero K. Purba)
Monday, 7 June 2010
Mie Sagu, Tahan Hingga 12 BulanMie Sagu, Tahan Hingga 12 Bulan

Sunday, 6 June 2010
Hari Lingkungan, 5 Juni 2010

Peringatan hari lingkungan hidup 5 Juni 2009 diperingati oleh Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang dengan mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) nomor 3 tahun 2009 tentang Perlindungan Satwa Liar. Dalam Perdes tersebut tercantum aturan-aturan yang peduli akan pelestarian lingkungan hidup, antara lain pelarangan perburuan semua jenis satwa liar dan pelarangan menangkap ikan dengan racun atau listrik. Dalam Perdes yang dalam penyusunannya didampingi oleh
Desa Kucur yang berada di kaki Pegunungan Kawi sebelumnya banyak dijumpai perburuan satwa liar seperti burung, ayam hutan, kijang, kucing hutan dan trenggiling. Pemburu berasal dari warga desa sendiri dan juga masyarakat dari luar Desa Kucur. Perburuan satwa liar tersebut telah mengancam kelestarian satwa. Di beberapa hutan yang berbatasan dengan Desa Kucur sudah terjadi kepunahan lokal satwa liar seperti jenis trenggiling, babi hutan dan lutung.
Menurut catatan ProFauna, di Desa Kucur dan sekitarnya tercatat ada sekitar 80 spesies burung. Beberapa jenis burung adalah burung yang dilindungi seperti burung cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), elang ular (Spilornis cheela), dan elang hitam (Ictinaetus malayensis). Dengan telah keluarnya Perdes Perlindungan Satwa liar tersebut diharapkan satwa liar dan habitatnya di Desa kucur bisa lestari. Desa Kucur juga berharao bahwa Perdes tersebut bisa mendorong Desa Kucur menjadi sebuah desa yang berwawasan lingkungan. Sebelumnya Desa Kucur juga aktif melakukan penghijauan sebagai langkah kecil untuk mengurangi efek pemanasan global.
Saturday, 5 June 2010
Di Balik Hijaunya Kebun Sawit
Di balik hamparan pohon kelapa sawit yang menghijau di Sumatera, tersimpan cerita muram tentang ribuan petani. Sebagai pemilik lahan, mereka sering dikalahkan atau terkalahkan oleh kapitalis yang ”menjarah” kebun mereka.
Mulanya petani desa memiliki sawah atau kebun yang diandalkan untuk menyambung kehidupan keluarga. Namun, kemudian datang perusahaan besar, dengan berbagai cara, berhasil menguasai tanah itu untuk dijadikan kebun sawit.
Sebagian petani mau melepaskan tanahnya karena dijanjikan menjadi plasma dari lahan inti kebun sawit perusahaan. Namun, janji itu palsu. Tanah yang dipertahankan petani dibeli murah, diganti rugi, atau ditipu secara halus. Para petani korban pun kehilangan tanah produksi sehingga mereka jatuh miskin.
Salah satu cerita muram itu terus diingat warga Desa Wonorejo, Kecamatan Kikim Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Tanah pertanian seluas 56,5 hektar milik 25 petani diserobot PT Multrada Muti Maju (MMM) tahun 1993. Sampai sekarang tanah itu dikuasai perusahaan dan ditanami kelapa sawit, sebagian sudah dipanen berkali-kali.
Padahal, menurut para petani, tanah tersebut merupakan tanah adat yang diberikan Pesirah Lawang Kulon atau pengurus desa kepada petani di desa tersebut sekitar tahun 1982. Subowo (65), salah seorang petani, mengungkapkan, tanah tersebut merupakan hak milik 25 petani secara sah. ”Perusahaan besar telah menyerobot dua hektar tanah saya dan milik petani lain tanpa ganti rugi sama sekali. Kami sudah berjuang untuk merebut tanah itu, tetapi malah dianggap kriminal,” katanya.
Ratusan kilometer dari Desa Wonorejo, tepatnya di Dusun Bungkal, Desa Pagardesa, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, anggota suku Anak Dalam juga menuturkan cerita muram. Sebanyak 35 keluarga anggota suku yang tinggal di tepi Sungai Lalan itu kehilangan tanah adat yang diserobot perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1996. Terakhir, 435 hektar tanah adat diambil PT Bahar Pasifik untuk ditanami kelapa sawit, tanpa ganti rugi.
”Kami sudah tinggal di sini sejak ratusan tahun lalu, sedangkan perusahaan itu baru masuk sekitar tahun 1996. Tetapi, kenapa tanah kami diserobot begitu saja?” kata Kepala Suku Anak Dalam di Dusun Bungkal, Dul Sahri, bertanya-tanya.
Sebanyak 70 keluarga suku Anak Dalam yang tinggal di Tanjung Lebar, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, juga telah terusir dari tanah adat akibat pengembangan kelapa sawit bermodal asing sejak pertengahan tahun 2005.
Lahan adat
Lain lagi yang dialami warga Desa Siju dan Desa Talang Nangka di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, yang sejak Maret 2005 gencar menolak pengalihan lahan padi mereka untuk kebun sawit.
Warga dua desa menolak lahan mereka dijual ke PT Patri Agung Perdana (PAP) untuk dijadikan lahan inti perkebunan sawit. Lahan itu adalah lahan adat yang terletak di Siju. Di lahan tersebut warga secara turun-temurun menanam padi sonor atau tebar untuk sumber pangan mereka.
Satu hektar lahan padi sonor menghasilkan 300-400 kaleng beras, atau setara dengan empat ton beras. Terbiasa mengonsumsi beras hasil panen sendiri, sejumlah warga Siju dan Talang Nangka mengaku tidak terpengaruh ketika harga beras terus naik di pasaran.
Karena menunggu lahan kering dan kemarau panjang, penanaman padi sonor umumnya berlangsung 3-5 tahun sekali.
Lahan yang sedang tidak ditanami padi tetap bermanfaat bagi masyarakat. Mereka dapat mengembangkan budidaya ikan yang hasilnya dijual atau dikonsumsi sendiri.
Kini mereka resah karena lahannya dijual ke perusahaan tanpa sepengetahuan mereka. Mereka tidak mendapat ganti rugi atas pembebasan lahan itu. Sebagian warga lainnya menerima uang tanpa mengetahui bahwa lahan mereka telah beralih kepemilikan.
”Padi sonor dapat memenuhi kebutuhan beras warga selama bertahun-tahun. Penjualan lahan jelas merugikan warga,” kata Sinarsyakh, Ketua Gerakan Perjuangan Tanah Adat Desa Siju.
Mat Cutik, warga RT 02 Kampung 2, Talang Nangka, mengaku tidak diberi tahu ketika lahan miliknya seluas tiga hektar di Desa Siju dijual ke PT PAP. Padahal, setiap panen, lahan itu memberinya empat ton padi yang cukup untuk kebutuhan selama empat tahun.
Menurut Sinarsyakh, terdapat sekitar 300 warga di desanya yang menolak pengalihan lahan itu. Melalui proses yang cukup panjang, dengan pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, warga menuntut dikeluarkannya lahan mereka dari areal PT PAP.
Protes warga itu disikapi perusahaan dan aparat kecamatan melalui pembuatan kesepakatan bersama antara warga dan perusahaan, 3 Oktober 2005.
Beberapa hasil kesepakatan di antaranya warga tidak akan menghalangi pematokan lahan oleh perusahaan dan perusahaan menginventarisasi kembali lahan milik masyarakat. Perusahaan berjanji akan mengganti rugi lahan yang belum diganti rugi, sedangkan warga yang tidak mau memperoleh ganti rugi akan dikembalikan lahannya.
Mandor dari PT PAP, Restoteles, mengemukakan, pihaknya hingga Januari lalu telah membebaskan lahan seluas 580 hektar di Siju. Seluas 150 hektar di antaranya merupakan lahan milik warga Talang Nangka. Lahan tersebut dibeli Rp 500.000 per hektar.
Pihaknya telah mengantongi izin lokasi perkebunan sawit seluas 8.700 hektar, yang ditandatangani Bupati Banyuasin melalui Surat Keputusan Nomor 27 Tahun 2004. Izin lokasi itu meliputi Desa Suka Pindah, Desa Plajau, Desa Tanah Lembak, dan Desa Siju. Lahan yang telah dibebaskan sejumlah 1.100 hektar, dari 1.700 hektar lahan yang ditargetkan.
Restoteles keberatan apabila warga yang telah menjual lahan dan menerima uang ganti rugi lantas membatalkan penjualan mereka.
Belum lagi kesepakatan terlaksana, pembangunan perkebunan inti sawit berlanjut. Pada 12 Februari lalu, PT PAP mulai melakukan penanaman perkebunan kelapa sawit di Desa Suka Pindah.
Penanaman sawit di lahan sengketa itu dikecam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan. Dalam siaran persnya, Walhi menilai PT PAP lalai melakukan sosialisasi perizinan dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Kepala Divisi Hutan dan Perkebunan Walhi Anwar Sadat mengatakan, Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan menyebutkan, masyarakat yang terkena dampak pembangunan seharusnya dilibatkan dalam proses kegiatan.
Camat Rambutan Amir Fauzie menduga penolakan warga itu disebabkan mereka belum terbiasa dengan penanaman sawit. Penanaman padi sonor merupakan tradisi masyarakat.
Genderang perang tampaknya terus ditabuh. Sinarsyakh menyayangkan masyarakat kecil yang selalu dikalahkan oleh kepentingan pemilik modal besar.
Masih banyak lagi cerita muram tentang petani-petani yang kehilangan tanah dalam konflik agraria dengan perusahaan besar.
Puluhan ribu petani
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang Nurkholis mengungkapkan, sebanyak 32.000 petani yang memiliki 186.108 hektar lahan dikalahkan dalam kasus agraria di Sumsel sejak tahun 1993 sampai 1998. Selama tahun 2004-2005 jumlahnya menurun menjadi 3.174 petani yang dikalahkan dalam 15 kasus agraria. Mereka menjadi korban dari konflik tanah untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang akhirnya dimenangkan perusahaan besar.
Setelah dikalahkan, para petani korban konflik kehilangan tanah yang diandalkan untuk mencari nafkah sehingga menjadi miskin. Ketika berusaha merebut kembali tanahnya, petani sering diintimidasi, dicap kiri, dikriminalkan, bahkan dipenjara. Sejak tahun 1999 sampai 2002, setidaknya ada 20-an petani yang dipenjara setiap tahunnya. Salah satunya, Subowo, petani asal Desa Wonorejo.
Para petani yang kehilangan tanah menjadi asing dengan proses produksi. Mereka akhirnya menjadi buruh di kampung halaman mereka sendiri dengan upah yang minim. Kondisi yang memprihatinkan itu terjadi karena mereka kesulitan mencari alternatif kerja yang layak di desa.
”Anak-anak kami tidak bisa lagi menggarap sawah yang sudah hilang. Mereka mencari kerja serabutan ke luar,” kata Mariyem (60), petani lain di Desa Wonorejo, yang memiliki dua hektar lahan yang diserobot PT MMM.
Secara terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib mengatakan, perkebunan kelapa sawit di Sumsel saat ini mencapai sekitar 551.000 hektar. Sekitar 300.000 hektar di antaranya milik rakyat, sedangkan 251.000 hektar dikelola perusahaan besar. Perkebunan ini termasuk sektor andalan yang menyerap tenaga kerja besar, yaitu sekitar 150.000 keluarga petani.
Namun, Syamuil mengakui, hingga kini terdapat sekitar 38.000 hektar perusahaan di Sumsel tersangkut berbagai masalah pertanahan. Masalah itu, antara lain adanya lahan perkebunan yang dianggap merambah kawasan hutan, diklaim kepemilikan oleh sekelompok masyarakat, atau ketidakjelasan batas wilayah setelah terjadi pemekaran kabupaten baru dalam rangka otonomi daerah.
KETAHANAN PANGAN BUKAN SEKEDAR PERSOALAN PERTANIAN TETAPI SOAL HIDUP ATAU MATI
Saat ini tingkat kesejahteraan petani masih dinggap yang paling rendah di Indonesia. Permasalahan yang ada di sektor pertanian masih dianggap pada tataran teknis saja. Padahal untuk meningkatkan kesejahteraan petani perlu diperhatikan hal-hal diluar teknis pertanian. Misalnya dalam hal manajemen dan usaha tani, agar posisi tawar petani menjadi tinggi sehingga tidak dipermainkan oleh pihak lain. Dalam hal ini sudah menjadi tugas kita yang bergerak di bidang sosial ekonomi pertanian untuk membantu petani memberikan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan agribisnis serta teknologi baru dalam rangaka meningkatkan kesejahteraan petani.
Kondisi pertanian di Indonesia yang masih labil, salah satunya disebabkan karena tidak diperkuat oleh profil lulusan dari pertanian. Kebanyakan dari mereka keluar jalur dari bidang pertanian setelah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian. Saat ini yang bergelut di bidang pertanian baik dalam tataran pembuat kebijakan maupun di kalangan petani masih di dominasi oleh angkatan kerja yang telah lama. Tidak adanya regenerasi Ini menunjukkan bahwa profesionalitas dikalangan mahasiswa sosial ekonomi pertanian rendah. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk meningkatkanya mengingat bidang pertanian tidak pernah tidak dibutuhkan di masa yang akan datang.
Fakta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana urusan beras, gula, minyak goreng dan jenis pangan pokok lainnya masih menjadi berita utama dalam berbagai media massa. Hati kita tentunya meringis apabila kita menyaksikan betapa rakyat kecil masih harus berdiri berjejer dalam antrian panjang untuk mendapatkan bahan pokok seperti beras. Bahkan perasaan kita akan tersentak apabila akhirnya mereka berebutan untuk hanya sekedar mendapatkan makanan yang mereka perlukan. Sambil mengelus dada, kita sering mendengar perkataan yang membesarkan hati, tanpa maksud menerima keadaan tersebut terus terjadi. Masih untung negeri kita tidak seperti apa yang terjadi di Afrika. Akibat kelaparan manusia sudah tidak lagi menjadi makhluk yang mulia.
Persoalan yang lebih pelik lagi adalah kemiskinan para petani pangan kita, yang menggambarkan adanya situasi paradoks dari sebutannya sebagai petani. Masa iya sesorang bisa disebut sebagai petani apabila ia kekurangan pangan pada masa paceklik atau membeli beras pada saat setelah panen? Ini sungguh fenomena luar biasa yang semestinya tidak pernah terjadi. Tapi begitulah faktanya, statistik kita menunjukkan lebih dari setengahnya petani kita adalah petani gurem (kepemilihan lahan kurang dari 0,5 ha). Belum lagi kita bicara buruh tani atau keluarga yang jenis pekerjaannya tidak jelas. Jadi, dimana letaknya kemajuan itu? Dimana adanya kemakmuran itu apabila menghadapi persoalan pangan saja kita masih harus penuh dengan perasaan khawatir. Inilah persoalan hidup atau mati bangsa dan negara kita tercinta apabila kita tidak bisa mengatasinya segera.