Saturday 5 June 2010

KETAHANAN PANGAN BUKAN SEKEDAR PERSOALAN PERTANIAN TETAPI SOAL HIDUP ATAU MATI

Saat ini tingkat kesejahteraan petani masih dinggap yang paling rendah di Indonesia. Permasalahan yang ada di sektor pertanian masih dianggap pada tataran teknis saja. Padahal untuk meningkatkan kesejahteraan petani perlu diperhatikan hal-hal diluar teknis pertanian. Misalnya dalam hal manajemen dan usaha tani, agar posisi tawar petani menjadi tinggi sehingga tidak dipermainkan oleh pihak lain. Dalam hal ini sudah menjadi tugas kita yang bergerak di bidang sosial ekonomi pertanian untuk membantu petani memberikan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan agribisnis serta teknologi baru dalam rangaka meningkatkan kesejahteraan petani.

Kondisi pertanian di Indonesia yang masih labil, salah satunya disebabkan karena tidak diperkuat oleh profil lulusan dari pertanian. Kebanyakan dari mereka keluar jalur dari bidang pertanian setelah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian. Saat ini yang bergelut di bidang pertanian baik dalam tataran pembuat kebijakan maupun di kalangan petani masih di dominasi oleh angkatan kerja yang telah lama. Tidak adanya regenerasi Ini menunjukkan bahwa profesionalitas dikalangan mahasiswa sosial ekonomi pertanian rendah. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk meningkatkanya mengingat bidang pertanian tidak pernah tidak dibutuhkan di masa yang akan datang.

Fakta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana urusan beras, gula, minyak goreng dan jenis pangan pokok lainnya masih menjadi berita utama dalam berbagai media massa. Hati kita tentunya meringis apabila kita menyaksikan betapa rakyat kecil masih harus berdiri berjejer dalam antrian panjang untuk mendapatkan bahan pokok seperti beras. Bahkan perasaan kita akan tersentak apabila akhirnya mereka berebutan untuk hanya sekedar mendapatkan makanan yang mereka perlukan. Sambil mengelus dada, kita sering mendengar perkataan yang membesarkan hati, tanpa maksud menerima keadaan tersebut terus terjadi.  Masih untung negeri kita tidak seperti apa yang terjadi di Afrika. Akibat kelaparan manusia sudah tidak lagi menjadi makhluk yang mulia.

Persoalan yang lebih pelik lagi adalah kemiskinan para petani pangan kita, yang menggambarkan adanya situasi paradoks dari sebutannya sebagai petani. Masa iya sesorang bisa disebut sebagai petani apabila ia kekurangan pangan pada masa paceklik atau membeli beras pada saat setelah panen? Ini sungguh fenomena luar biasa yang semestinya tidak pernah terjadi. Tapi begitulah faktanya, statistik kita menunjukkan lebih dari setengahnya petani kita adalah petani gurem (kepemilihan lahan kurang dari 0,5 ha). Belum lagi kita bicara buruh tani atau keluarga yang jenis pekerjaannya tidak jelas. Jadi, dimana letaknya kemajuan itu? Dimana adanya kemakmuran itu apabila menghadapi persoalan pangan saja kita masih harus penuh dengan perasaan khawatir.  Inilah persoalan hidup atau mati bangsa dan negara kita tercinta apabila kita tidak bisa mengatasinya segera.

1 comment:

Adhy said...

betul kang,,, harusnya petani indonesia bangga dengan predikatnya sebagai petani, seperti petani yang ada di di daerah maju,, tapi kenyataannya tidak demikian, petani masih diuruttkan sebagai penyumbang perekonomian paling kecil di negara kita ni.... bahkan pernah sy dengardri seseorang, 'petanii itu tidak akan pernah kaya sampai kapanpun'....