Saturday 31 July 2010

Budidaya Jamur Merang Jadi Unggulan di Indramayu


Jangan pernah sepelekan jamur karena cendawan ini selain menyehatkan badan, ternyata juga dapat 'menggendutkan' kantong! Nggak percaya? Tanyakan kepada JPMI (Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia) Cabang Indramayu yang sudah meraup puluhan juta rupiah dari bisnis jamur merang.

Dari 'Dakling' Jadi Profesional
Ada istilah unik di Indramayu untuk menyebut pengusaha dadakan, yaitu 'dakling' alias dadak eling. Untuk mengantisipasi para pengusaha muslim yang minim skill dan pengetahuan manajemen tersebut, JPMI Indramayu mengadakan training wirausaha tiga bulanan. Materi yang diberikan biasanya bertema manajemen bisnis. Walhasil, JPMI Indramayu mampu merekrut dan membina lebih dari 400 pengusaha kecil dan menengah di wilayah Kabupaten Indramayu. Dari ratusan pengusaha tersebut, ada 70 pengusaha yang concern dalam pembudidayaan jamur merang.

Darojat, Divisi Jaringan Pengusaha JPMI Indramayu, mengatakan, prospek usaha jamur merang tersebut sangat bagus. “Peluang jamur merang ini sangat tinggi karena permintaan pasar banyak sementara petani jamur sedikit,” ujar Darojat saat ditemui di stand JPMI Indramayu dalam IHBF Expo 2010 di JCC, akhir pekan lalu.


Selain permintaan yang tinggi, iklim Indramayu juga sangat baik untuk pembudidayaan jamur. Jamur biasanya dapat hidup di daerah yang tidak terlalu dingin. Iklim Indramayu yang panas dapat disiasati oleh para pembudidaya jamur untuk memproduksi jamur merang sebanyak mungkin dengan mengatur suhu. Tak heran, sudah ada sekitar 150 bumbung jamur merang yang dapat menghasilkan hingga 2,5 kwintal per panen untuk satu bumbung jamur. Jika 1 kg dihargai Rp20 ribu, bisa terbayang berapa banyak penghasilan yang didapat oleh para pengusaha jamur merang tersebut.

Beragam Metamorfosis Jamur
Lezatnya jamur merang tak kalah dengan ayam, daging, dan ikan. Hal tersebut diiyakan oleh sebagian masyarakat yang sudah merasakan kelezatan jamur merang. Selain dijual dalam bentuk jamur segar, jamur merang juga dapat diolah menjadi keripik, kerupuk, pepes jamur, dan rawon. Dari segi pengemasan, JPMI Indramayu juga mulai menyiapkan jamur kaleng agar jamur-jamur tersebut dapat bertahan lama dan lebih mudah dalam hal pendistribusian.

Menurut Darojat, distribusi jamur merang hasil anggota JPMI Indramayu baru dipasarkan ke beberapa pasar daerah dan warung-warung yang berada dalam lingkup Kabupaten Indramayu. Darojat mengakui, untuk satu kecamatan saja, kadang pihaknya kewalahan memenuhi permintaan pasar. Namun, ke depannya, JPMI Indramayu akan mengusahakan agar dapat memasarkan jamur merang kaleng ke supermarket dan hipermarket ternama. Harga yang ditawarkan dari jamur merang tersebut juga relatif terjangkau, mulai dari Rp20 ribu/kg untuk jamur segar kualitas super, Rp10 ribu/kg untuk jamur segar kualitas BS, dan Rp12 ribu/kaleng untuk jamur merang yang dikemas dalam bentuk kaleng seperti yang dijual di beberapa supermarket.

Terkait modal, Anda dapat memulai pembudidayaan jamur merang dengan modal Rp10 juta untuk investasi bumbung. Setelah panen, jamur merang dapat diolah menjadi aneka makanan ringan dengan tambahan modal sekitar Rp2 juta. Untuk masalah modal, JPMI Indramayu siap membantu para anggotanya dalam mencari investor. Selain perusahaan besar seperti Pertamina, JPMI juga menjalin rekanan dengan lembaga keuangan syariah seperti BMT (Baitul Maal wat Tamwil) dalam menyalurkan pembiayaan modal kerja.

Dengan kemudahan akses permodalan tersebut, banyak pengusaha berada di bawah naungan JPMI Indramayu. Beberapa pengusaha tersebut telah berhasil mengembangkan usahanya yang sangat beragam, mulai dari usaha telur asin, keripik pisang, olahan bonggol pisang, hingga jamur merang crispy.

sumber: http://www.eramuslim.com/berita/info-bisnis/budidaya-jamur-merang-jadi-unggulan-di-indramayu.htm

Ikan Betutu, Ikan Malas Berkulitas Ekspor


BENIH merupakan bagian utama dalam budidaya ikan. Pada tingkatan yang sederhana benih ikan dapat diperoleh dari hasil penangkapan di alam, sedang pada tingkat yang lebih maju dapat diperoleh dari hasil pembenihan ikan milik petani (swasta) maupun dari Balai Benih Ikan (BBI).Lain halnya ikan Betutu/bakut (Oxyeleotris marmorata) atau marbled goby alias ikan bodoh/malas yang terbilang ikan konsumsi mahal belum ada yang sangat serius mengelola pembenihannya, akibatnya perkembangbiakannya sangat menghawatirkan, sehingga populasi dari tahun ke tahun semakin menurun. Ikan betutu memang mendapatkan julukan gabus malas atau ikan malas karena ikan ini memang malas berpindah tempat. Sekalipun diusik, betutu cenderung diam saja di dasar air. Hanya di malam hari ikan betutu aktif mencari makan (nocturnal) berupa udang-udang kecil, kepiting, dan siput air.

Ikan betutu sebagai ikan air tawar dengan Habitat di air payau, sungai-sungai yang tidak jauh dari muara atau pantai, berarus tenang dan berlumpur, rawa serta danau dengan dasar berlumpur, betutu termasuk ikan labirin karena mampu hidup diperairan yang keruh dengan bantuan lembar-lembar labirin pada lapis insangnya.

Ikan dengan ciri berkepala besar ini memiliki panjang tubuh maksimum sekitar 65 cm, namun kebanyakan antara 20–40 cm atau kurang. Berwarna merah bata pudar, kecoklatan atau kehitaman, dengan pola-pola gelap simetris di tubuhnya. Tanpa bercak bulat (ocellus) di pangkal ekornya. Ciri-ciri lainnya adalah sirip dorsal (punggung) yang sebelah muka dengan enam jari-jari yang keras (duri)dan yang sebelah belakang dengan satu duri dan sembilan jari-jari yang lunak. Sirip anal dengan satu duri dan 7–8 jari-jari lunak. Sisik-sisik di tengah punggung, dari belakang kepala hingga pangkal sirip dorsal (predorsal scales) 60–65 buah. Sisik-sisik di sisi tubuh, di sepanjang gurat sisi (lateral row scales) 80–90 buah.

Untuk Bobot ikan betutu biasanya sekitar 4 kilo per ekor bahkan bisa sampai 8 kilo per ekor dan harganya bekisar 130 ribu sedangkan untuk bibit biasanya dijual dengan harga 35/40 ribu per kilonya . Satu kerambah biasanya menghasilkan 30 s/d 40 kg bahkan bisa sampai 300 kg .
Pusat budidaya betutu yang di miliki Kutai Kartanegara di kecamatan Kenohan biasanya di beli oleh pengepul dari kota bangun yang datang langsung ke pemilik keramba lalu pengepul menjual kembali ke pengusaha dari Balikpapan untuk di ekspor ke Singapura,India dan Thailand. Ikan betutu bila sudah masuk ke restoran maka harganya bisa mencapai Rp 250.000,00 – Rp 300.000,00 untuk satu porsi dengan ukuran 0,8 kg -1 kg.

“Kami mengalami kesulitan untuk mendapat bibit apalagi bila air bangar, ikan-ikan tak dapat hidup dan bibit-bibit betutu akan susah di dapat. selain itu penyakit kulit berlendir yang dapat menyebabkan kematian dan kami belum dapat mencegah atau menanggulagi masalah ini “ ujar Isuk salah seorang petani keramba di Kecamatan Kenohan
Ia juga menambahkan ikan betutu biasanya di beri makan ikan segar yang dipotong-potong dan di luar negri ikan ini sudah bisa di budidayakan dan tidak lagi menggunakan ikan-ikan segar tetapi makannya diganti dengan pellet.

Dibawah asuhan (UPR) upaya pemberdayaan rakyat nelayan betutu berusaha membudidayakan ikan sehingga nantinya hasilnya dapat lebih ditingkatkan, ia juga berharap agar para peneliti dapat mengelola inofasi baru dalam pembibitan ikan betutu

Ikan ekonomis di perairan mahakam

Betutu merupakan salah satu ikan ekonomis yang ada di perairan mahakam, pada umumnya keramba terbuat dari kayu ulin atau kahoi berukuran 2X3X1,25 meter dan untuk mengapungkannya biasanya keramba menggunakan batang kayu atau drum. Umumnya keramba dapat di pakai untuk 2 sampai 4 tahun atau 3 sampai 4 kali pemeliharan.
Untuk benih umumnya ikan betutu berasal dari tangkapan nelayan di sekitar danau Semayang menggunakan tempirai, bubu, tahanan dan rengge. Ikan tersebut berwana hitam seperti ikan gabus dengan Rasanya manis dan daging empuk serta berserat lembut ini biasanya para nelayan menggunakan pakan hidup berupa ikan segar di potong-potong atau ikan kecil segar, cincangan keong mas dan cacing tanah. Pemberian pakan di lakukan satu kali satu hari menjelang sore atau keadaan mulai gelap tetapi bila menjeng panen pemberian pakan di sesuaikan kebutuhan ikan biasamya sekitar 8-9 Kg perkeramba perhari.

Untuk penyakit atau hama yang terdapat pada ikan betutu di pengaruhi oleh musim yang menyebabkan perubahan kualitas air. Ada beberapa cara sederhana mencegah lendir dan koreng pada ikan betutu dengan merendam larutan air garam selama 1-2 menit atau dengan menggunakan larutan PK (kalium permangat) sebanyak 3-4 tetes ke dalam 5 liter air selama 30-60 detik

Sahran Kepala Dinas Perikanan di dampingi Kasubag bagian Umum Muslik mengatakan untuk budidaya ikan betutu sejauh ini masih tergantung dari alam, belum ada penelitian lebih lanjut tentang pembenihan ikan. Terkait tentang ketergantungan bibit ikan betutu dengan alam dinas Perikanan membantu para nelayan membuat daerah larangan untuk menagkap ikan sehingga populasi ikan tersebut tidak terganggu.
Ikan Betutu yang menjadi ikan favorit untuk dijadikan ikan asap bagi masyarakat juga memiliki harga yang baik. Untuk itu dinas perikanan memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana untuk membantu para nelayan agar hasilnya budidaya ikan tersebut dapat berkembang dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar
“Kami sudah mencoba melakukan pembenihan dengan mendatangkan bibit-bibit dari luar tetapi itu semua gagal di lakukan karena bibit yang di datangkan terlalu kecil sehingga tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan, mungkin bila bibit-bibit tersebut agak lebih besar dapat tahan terhadap lingkungan” ujarnya.

Untuk itu, dinas perikanan mensiasatinya dengan mengarahkan para nelayan ke sektor-sektor pembudidayaan dan pemasaran sehingga kulitas yang di hasilkan dapat meningkat di setiap tahunnya walaupun masalah bibit hanya tergantung dari alam. Untuk kerjasama dengan pihak universitas di bidang penelitian ikan Betutu terutama pembenihan belum dilakukan tetapi dinas perikanan telah bekerjasama dengan Universitas Mulawarman untuk program Konserfasi air dan pelatihan-pelatihan bagi para nelayan untuk meningkatkan kualitas menjadi agenda rutin dinas perikanan. Biasanya para nelayan mengikuti pelatihan dari balai-balai perikanan yang di selenggarakan oleh badan riset kelautan dan perikanan.

Ikan betutu mempunyai sifat genetis yang berbeda dengan ikan budidaya lainya yakni pertumbuhan badan yang lambat dengan kata lain tidak mudah bongsor dan masa pemeliharaan yang cukup lama sehingga kalo dilihat dari lamanya perkembangan kurang menguntungkan tetapi bila dilihat dari harga jualnya yang mencapai 130 ribu maka bubidaya betutu tetap memberikan keuntungan yang tinggi.

Dalam budidaya ikan betutu ini juga dapat meningkatkan UPR masyarakat, contohnya saja bukan hanya ikan betutnya yang tinggi harganya tetapi benih bibit ikannya pun memiliki harga yang tinggi di pasaran yang mencapai 35/40 ribu per kilonya. (vb-lin)

Artikel di atas disalin dari: http://www.vivaborneo.com/ikan-betutu-ikan-malas-berkulitas-ekspor.htm/comment-page-1

Kebumen Ekspor Nilam

Tanaman nilam akhirnya berhasil menjadi alternatif yang menjanjikan keuntungan besar bagi para petani di wilayah dataran tinggi di Kebumen, setelah tanaman itu diolah menjadi minyak nilam yang bernilai jual tinggi di pasar dunia.
Salah satu kelompok tani pembudidaya tanaman nilam yang kemudian mengolahnya menjadi minyak nilam untuk kebutuhan ekspor adalah Kelompok Tani (Klomtan) Sidoraharjo Desa Wadasmalang Kecamatan Karangsambung, yang merupakan binaan Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kebumen.

Menurut Ketua Klomtan Sidoraharjo, Margono (35), saat ini kelompok yang beranggotakan 42 orang itu setiap minggu sudah berhasil menjual minyak nilam kepada eksportir minyak atsiri di Purwokerto dan Jakarta. Minyak nilam yang diproduksi di instalasi penyulingan milik kelompok dalam seminggu terkumpul 60 sampai 80 kg.

“Harga jualnya dari kami kepada eksportir saat ini mencapai Rp 330 ribu per kg. Setelah kami perhitungkan dengan biaya produksi, ternyata cukup menguntungkan bagi kami,” ungkapnya di instalasi penyulingan nilam milik Klomtan Sidoraharjo, Sabtu (10/7).

Dituturkan Margono, semula anggota klomtannya merupakan petani cengkih dan palawija seperti singkong dan tembakau. Setelah cengkih surut dan Distanhut mengenalkan nilam kepada mereka, kemudian merekapun mencoba beralih ke nilam. Apalagi setelah Distanhut membantu peralatan penyulingan seharga Rp 50 juta ditambah petunjuk teknis penyulingan dan upaya pemasarannya, kelompoknya bertambah semangat mengelola budidaya nilam dan pembuatan minyak nilam. Dibandingkan cengkih dan palawija, ternyata nilam lebih menguntungkan.

Saat ini kelompoknya sudah memiliki lahan nilam seluas 42 hektare, terhampar di tanah milik anggota kelompok. Kesuburan nilam menurutnya, sangat tergantung pada jenis tanah, pola tanam dan perawatannya.

Berdasarkan pengalaman kelompok, satu hektare nilam menghasilkan panen berupa batang dan daun nilam seberat 15 ton. Setiap panen, nilam petani dibeli dengan harga Rp 3.500 per kg. Kandungan minyak tertinggi dihasilkan dari batangnya, sedangkan kandungan minyak daunnya dibawah kandungan minyak pada batang.

“Dengan alat destilasi ini dalam sekali olah kami berhasil mengolah tiga kuintal bahan baku berupa nilam kering yang direbus dengan 500 liter air. Adapun rendemen atau kandungan minyak yang dihasilkan sebesar 1,6 sampai 1,8 persen. Tiga kuintal bahan baku ini bisa menghasilkan 7 kg minyak, setelah air rebusan ditumpahkan ke spon dan disaring dengan monel,” jelas Margono.

Melihat respons pasar yang tinggi terhadap minyak nilam, Margono berharap Distanhut Kebumen bersedia membantu satu instalasi pengolahan lagi kepada kelompoknya, demi meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok.

sumber: koran Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. 12 Juli 2010.

Alat Penyulingan Minyak Nilam


NILAM salah salah satu tanaman penghasil minyak atsiri, baik sebagai sumber devisa negara maupun sumber pendapatan petani. Namun tekonologi pengolahan minyak nilam ditingkat petani umumnya masih tradisional, karena faktor sosial ekonomi dan terbatasnya teknologi yang diakses, sehingga minyak yg dihasilkan mutunya masih rendah.

Melihat kendala tersebut, Badan Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BPPTG) Yogya melakukan terobosan baru dengan mengembangkan teknologi penyulingan minyak nilam. "Alat ini mulai diciptakan pada 2009. Harapannya, dapat membantu para kelompok UMKM dalam meningkatkan pengembangan minyak nilam dengan mutu tinggi," ujar Nugroho Jati kepala BPPTG Yogya pada KR, Kamis (24/6).

Teknologi rekayasa ini telah digunakan oleh beberapa kelompok masayarakat, diantaranya UMKM di Godean dan Ngaglik Yogyakarta. Alat ini tercipta setelah pihaknya menemukan kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada ketel penyulingan tradisional yang selama ini dipakai petani. Berkat temuan tersebut, selama penyulingan berlangsung destilasi dari air yang diduga masih mengandung minyak dapat kembali masuk ke ketel.

Sistem ini mampu memaksa agar gas panas (uap) yang dikeluarkan dari proses penyulingan dapat kembali masuk ke dalam ketel melalui pipa. Uap kemudian membantu proses pemanasan air dalam ketel, sehingga mempercepat pemanasan dan efisiensi air. Uap tersebut juga mampu membuat aliran panas di dalam ketel lebih cepat dan konstan.

Dari segi mutu minyak yang dihasilkan bisa lebih berwarna bening. Coba bandingkan dengan penyulingan tradisional yang berwarna gelap seperti air kopi, karena proses penyulingan berlangsung terlalu lama sehingga berakibat minyak hangus.

Untuk biaya investasi, memang lebih tinggi dibanding yang dimiliki petani selama ini. Jika investasi teknologi tradisional membutuhkan dana sekitar Rp 5 juta, maka teknologi baru itu butuh dana beberapa kali lipat, tergantung dengan kapasitas pesanan. "Misalnya untuk daya tampung sekitar 20 kilogram, harganya sekitar Rp 15-20 juta. Bahkan, kita juga menerima pesanan yang kapasitasnya hingga 1 kuintal. Dari segi perawatannya, alat tersebut jauh lebih mudah dibanding sebelumnya, dan memiliki daya tahan hingga bisa sampai 10 tahun," jelasnya.

Minyak nilam memiliki potensi strategis di pasar dunia sebagai bahan pengikat aroma wangi pada parfum dan kosmetika. Prospek ekspor minyak nilam dimasa mendatang masih cukup besar, sejalan dengan makin tingginya permintaan terhadap parfum dan kosmetika , trend mode dan belum berkembangnya materi subtitusi minyak nilam di dalam industri parfum maupun kosmetika.

sumber: harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu 27 Juni 2010.

Thursday 10 June 2010

HP Tenaga Surya Untuk Petani














PT Indosat mewujudkan komitmen untuk memberikan layanan telekomunikasi kepada seluruh lapisan masyarakat dengan menghadirkan Telepon Seluler (Ponsel) Gaya (TenaGa SurYa). Sebuah ponsel bertenaga surya pertama di Indonesia, yang untuk tahap awal direncanakan untuk mendukung program Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok/ RDKK Online Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) bagi petani Indonesia.

Ponsel Gaya ini akan menjadi salah satu sarana pendukung untuk mewujudkan RDKK Online bagi petani Indonesia, bekerjasama dengan INKOPTAN (Induk Koperasi Tani dan Nelayan). yang akan diresmikan dalam waktu dekat.

Ponsel Gaya persembahan Indosat ini nantinya akan menjadi sarana komunikasi untuk rakyat /petani dengan menggunakan tenaga surya yang ramah lingkungan. "Dalam waktu dekat ponsel ini juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas," kata Johnny Swandi Sjam, Direktur Utama Indosat, Rabu (15/7) di Jakarta.

RDKK sendiri merupakan suatu aplikasi IT terintegrasi yang membantu petani untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi dalam kegiatan bertani yang akan dilakukan secara online dengan menggunakan fasilitas jaringan telekomunikasi nirkabel (GSM) sehingga petani bisa terbantu dengan cepat dan efisien.

Indosat yang selama ini juga dikenal sebagai perusahaan yang peduli lingkungan melalui program Indonesia Hijau, berupaya menghadirkan ponsel yang j uga ramah lingkungan, dengan memanfaatkan tenaga surya yang sangat murah dan melimpah, sehingga tidak perlu menggunakan tenaga listrik yang sumber dayanya di alam semakin berkurang.

Ponsel Gaya tidak kalah dengan ponsel umumnya yang bertenaga listrik biasa. Dengan desain yang cukup trendi, ponsel ini anti-shock, dust resistance untuk kegiatan luar ruang, dan memiliki power management berupa automatic charge jika terkena sinar matahari, apabila kapasitas baterai kurang dari 90 persen.

Dari sisi layanannya, ponsel Gaya hadir dengan harga yang sangat terjangkau yaitu Rp 480.000,- (termasuk PPN), dengan kartu Mentari yang menghadirkan banyak manfaat dan bonus antara lain bonus SMS sebanyak 50 SMS / setiap akumulasi isi ulang 20 ribu, bonus internetan 220 menit, bonus bicara 120 menit dan juga dapat digunakan untuk menikmati program Obral Obrol Mentari yaitu gratis bicara 60 menit ke sesama nomor Indosat dengan cara : ketik : obrol dan kirim ke 303. Ponsel Gaya akan dapat dinikmati oleh masyarakat umum pada akhir Juli mendatang.
Sumber : Kompas.com

Peluang Orientasi Pasar Internasional Hortikultura Indonesia pada Event 28th International Horticulture Congress And Exhibition, Lisboa, Spanyol


Kegiatan event pameran 28th International Horticulture Congress and Exhibition, Lisboa, Spanyol yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 – 27 Agustus 2010. Kongres ini terfokus untuk pengembangan hortikultura di tingkat internasional dan berkaitan dengan para ilmuwan, produsen, konsumen dan masyarakat pada umumnya. Untuk produk hortikultura Indonesia menembus pasar dunia, pasar modern, serta hotel dan restoran, seiring telah dilakukannya upaya perbaikan kualitas, baik dari segi kesehatan maupun mutu produk. Hal itu terkait dengan pemasaran produk holtikultura Indonesia di era pasar bebas di Asia Pasifik, ASEAN, dan global. Antara Spanyol dengan Indonesia selama lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan yang memilki tren peningkatan sebesar 17.9%. Nilai perdagangan antara kedua negara pada tahun 2008 mencapai 1.89 milyar euro. Ekspor Indonesia ke Spanyol mencapai 1.69 milyar euro dan Impor 199.6 juta atau terjadi surplus bagi Indonesia sebesar 1.49 milyar euro. Krisis ekonomi yang melanda Spanyol pada akhir tahun 2008 telah menyebabkan menurunnya permintaan terhadap produk Indonesia. Ekspor Indonesia ke Spanyol pada periode Januari-Agustus 2009 mencapai 1.00 milyar euro dan impor mencapai 125.3 juta euro dan surplus bagi Indonesia sebesar 883.3 juta euro. Nilai tersebut mengalami penurunan sebesar 144 juta bila dibandingkan periode yang sama tahun 2008.

Pada event kegiatan Kongres dan Exhibition tahun 2010 ini yang menjadi tema adalah Science & Horticulture merupakan konferensi dunia pada ilmu-ilmu hortikultura, yang hanya berlangsung setiap empat tahun, di bawah perlindungan Masyarakat Internasional untuk Ilmu Hortikultura (ISHS). Event yang dilaksanakan di Lisboa, Spanyol ini 2010 di organisir oleh Portugal (Asosiasi Portugis Hortikultura) dan Spanyol (Spanyol Hortikultura & Ilmu Masyarakat) di Lisbon Congress Centre, di mana, selama seminggu, akan diselenggarakan colloquium, simposium, seminar, lokakarya dan session tematik. Tema fokus pada komponen ilmiah hortikultura tetapi juga interaksi antara ilmuwan, produsen, konsumen dan masyarakat. Pendaftaran terbuka, dan berlanjut sampai awal kongres. Pada kesempatan kongres dan exhibition ini diharapkan pelaku usaha hortikultura Indonesia, beserta scientist dapat mengikuti event ini, hal ini merupakan pembelajaran dan mencari peluang akses baru inovasi dan orientasi pasar untuk produk-produk hortikultura Internasional (Sumber: International Society for Horticultural Science (ISHS)., Data BPS, Data diolah F. Hero K. Purba)

Monday 7 June 2010

Mie Sagu, Tahan Hingga 12 BulanMie Sagu, Tahan Hingga 12 Bulan


Pasaran mie kini diramaikan oleh ragam mie berbasis pati dari berbagai macam bahan tunggal atau campuran. Di antaranya mie gleser (mie sagu) yang sedang dikembangkan oleh masyarakat. Ada yang dipasarkan dalam keadaan basah dan ada yang dalam keadaan kering. Mie sagu kering perlu dikembangkan agar daya simpannya bisa lebih lama sehingga potensi pasarnya meningkat dan produksi serta pemasaran bisa berkembang. Dengan perlakuan tertentu pada proses pembuatan mie sagu basah yang dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan peralatan khusus dan pengaturan suhu pengeringan, mereka berhasil memperoleh mie sagu kering yang mutunya memenuhi standar SNI dan daya simpannya bisa mencapai sekitar 12 bulan.
Proses pembuatan mie sagu yang digunakan dalam penelitian tersebut memodifikasi model yang diuraikan Purwani dan Harimurti (2005), sedangkan alat pengeringnya adalah pengering model rak (tray dier). Pengering tipe rak ini memiliki ruang pengering ukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm yang diisi dengan 12 rak secara bertingkat dengan ukuran masing-masing 20 x 30 cm. Energi panas dipasok oleh perangkat elemen listrik, pengaliran udara panas ke ruang pengering berlangsung dengan bantuan kipas (blower). Pengering tipe rak tersebut dipilih untuk proses pengeringan karena suhu bisa diatur dan kebersihan produk dalam pengeringan bisa dikendalikan. Pembuatan mie sagu secara laboratoris pada percobaan tersebut dilakukan menggunakan tepung sagu aren, air dan tawas sebagai binder (biang). Sebanyak 20 tepung sagu dicampur 150 ml air dan 2 g tawas dicampur dan diaduk lalu dipanaskan hingga menjadi gel. Pada gel ditambahkan pati sagu kering sebanyak 180 g sambil terus diaduk hingga adonan menjadi adonan kalis. Adonan lalu dicetak menjadi helaian mie sagu dan langsung ditampung di atas rak kawat (rak pengeringan). Mie yang ditempatkan di atas rak dibatasi hanya satu lapis. Mie di atas rak-rak tersebut dimasukkan pada alat pengukus lalu dikukus selama 2 menit. Proses selanjutnya dalam pembuatan mie sagu basah yakni perendaman dan penirisan mie tidak lagi dilakukan, tetapi langsung ke tahap pengeringan. Setelah pengukusan, mie dengan raknya dimasukkan ke dalam ruang pengering tipe rak.

Sunday 6 June 2010

Hari Lingkungan, 5 Juni 2010


Peringatan hari lingkungan hidup 5 Juni 2009 diperingati oleh Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang dengan mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) nomor 3 tahun 2009 tentang Perlindungan Satwa Liar. Dalam Perdes tersebut tercantum aturan-aturan yang peduli akan pelestarian lingkungan hidup, antara lain pelarangan perburuan semua jenis satwa liar dan pelarangan menangkap ikan dengan racun atau listrik. Dalam Perdes yang dalam penyusunannya didampingi oleh Petungsewu Wildlife Education Center (P-WEC), sebuah program di bawah ProFauna yang mempromosikan pendidikan lingkungan hidup tersebut juga terdapat aturan yang melarang warga desa menebang pohon yang berada di dekat sumber air. Pohon yang menjadi sumber pakan satwa liar juga harus dilestarikan.

Desa Kucur yang berada di kaki Pegunungan Kawi sebelumnya banyak dijumpai perburuan satwa liar seperti burung, ayam hutan, kijang, kucing hutan dan trenggiling. Pemburu berasal dari warga desa sendiri dan juga masyarakat dari luar Desa Kucur. Perburuan satwa liar tersebut telah mengancam kelestarian satwa. Di beberapa hutan yang berbatasan dengan Desa Kucur sudah terjadi kepunahan lokal satwa liar seperti jenis trenggiling, babi hutan dan lutung.

Menurut catatan ProFauna, di Desa Kucur dan sekitarnya tercatat ada sekitar 80 spesies burung. Beberapa jenis burung adalah burung yang dilindungi seperti burung cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), elang ular (Spilornis cheela), dan elang hitam (Ictinaetus malayensis). Dengan telah keluarnya Perdes Perlindungan Satwa liar tersebut diharapkan satwa liar dan habitatnya di Desa kucur bisa lestari. Desa Kucur juga berharao bahwa Perdes tersebut bisa mendorong Desa Kucur menjadi sebuah desa yang berwawasan lingkungan. Sebelumnya Desa Kucur juga aktif melakukan penghijauan sebagai langkah kecil untuk mengurangi efek pemanasan global.

Saturday 5 June 2010

Di Balik Hijaunya Kebun Sawit

Di balik hamparan pohon kelapa sawit yang menghijau di Sumatera, tersimpan cerita muram tentang ribuan petani. Sebagai pemilik lahan, mereka sering dikalahkan atau terkalahkan oleh kapitalis yang ”menjarah” kebun mereka.

Mulanya petani desa memiliki sawah atau kebun yang diandalkan untuk menyambung kehidupan keluarga. Namun, kemudian datang perusahaan besar, dengan berbagai cara, berhasil menguasai tanah itu untuk dijadikan kebun sawit.

Sebagian petani mau melepaskan tanahnya karena dijanjikan menjadi plasma dari lahan inti kebun sawit perusahaan. Namun, janji itu palsu. Tanah yang dipertahankan petani dibeli murah, diganti rugi, atau ditipu secara halus. Para petani korban pun kehilangan tanah produksi sehingga mereka jatuh miskin.

Salah satu cerita muram itu terus diingat warga Desa Wonorejo, Kecamatan Kikim Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Tanah pertanian seluas 56,5 hektar milik 25 petani diserobot PT Multrada Muti Maju (MMM) tahun 1993. Sampai sekarang tanah itu dikuasai perusahaan dan ditanami kelapa sawit, sebagian sudah dipanen berkali-kali.

Padahal, menurut para petani, tanah tersebut merupakan tanah adat yang diberikan Pesirah Lawang Kulon atau pengurus desa kepada petani di desa tersebut sekitar tahun 1982. Subowo (65), salah seorang petani, mengungkapkan, tanah tersebut merupakan hak milik 25 petani secara sah. ”Perusahaan besar telah menyerobot dua hektar tanah saya dan milik petani lain tanpa ganti rugi sama sekali. Kami sudah berjuang untuk merebut tanah itu, tetapi malah dianggap kriminal,” katanya.

Ratusan kilometer dari Desa Wonorejo, tepatnya di Dusun Bungkal, Desa Pagardesa, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, anggota suku Anak Dalam juga menuturkan cerita muram. Sebanyak 35 keluarga anggota suku yang tinggal di tepi Sungai Lalan itu kehilangan tanah adat yang diserobot perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1996. Terakhir, 435 hektar tanah adat diambil PT Bahar Pasifik untuk ditanami kelapa sawit, tanpa ganti rugi.

”Kami sudah tinggal di sini sejak ratusan tahun lalu, sedangkan perusahaan itu baru masuk sekitar tahun 1996. Tetapi, kenapa tanah kami diserobot begitu saja?” kata Kepala Suku Anak Dalam di Dusun Bungkal, Dul Sahri, bertanya-tanya.

Sebanyak 70 keluarga suku Anak Dalam yang tinggal di Tanjung Lebar, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, juga telah terusir dari tanah adat akibat pengembangan kelapa sawit bermodal asing sejak pertengahan tahun 2005.

Lahan adat

Lain lagi yang dialami warga Desa Siju dan Desa Talang Nangka di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, yang sejak Maret 2005 gencar menolak pengalihan lahan padi mereka untuk kebun sawit.

Warga dua desa menolak lahan mereka dijual ke PT Patri Agung Perdana (PAP) untuk dijadikan lahan inti perkebunan sawit. Lahan itu adalah lahan adat yang terletak di Siju. Di lahan tersebut warga secara turun-temurun menanam padi sonor atau tebar untuk sumber pangan mereka.

Satu hektar lahan padi sonor menghasilkan 300-400 kaleng beras, atau setara dengan empat ton beras. Terbiasa mengonsumsi beras hasil panen sendiri, sejumlah warga Siju dan Talang Nangka mengaku tidak terpengaruh ketika harga beras terus naik di pasaran.

Karena menunggu lahan kering dan kemarau panjang, penanaman padi sonor umumnya berlangsung 3-5 tahun sekali.

Lahan yang sedang tidak ditanami padi tetap bermanfaat bagi masyarakat. Mereka dapat mengembangkan budidaya ikan yang hasilnya dijual atau dikonsumsi sendiri.

Kini mereka resah karena lahannya dijual ke perusahaan tanpa sepengetahuan mereka. Mereka tidak mendapat ganti rugi atas pembebasan lahan itu. Sebagian warga lainnya menerima uang tanpa mengetahui bahwa lahan mereka telah beralih kepemilikan.

”Padi sonor dapat memenuhi kebutuhan beras warga selama bertahun-tahun. Penjualan lahan jelas merugikan warga,” kata Sinarsyakh, Ketua Gerakan Perjuangan Tanah Adat Desa Siju.

Mat Cutik, warga RT 02 Kampung 2, Talang Nangka, mengaku tidak diberi tahu ketika lahan miliknya seluas tiga hektar di Desa Siju dijual ke PT PAP. Padahal, setiap panen, lahan itu memberinya empat ton padi yang cukup untuk kebutuhan selama empat tahun.

Menurut Sinarsyakh, terdapat sekitar 300 warga di desanya yang menolak pengalihan lahan itu. Melalui proses yang cukup panjang, dengan pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, warga menuntut dikeluarkannya lahan mereka dari areal PT PAP.

Protes warga itu disikapi perusahaan dan aparat kecamatan melalui pembuatan kesepakatan bersama antara warga dan perusahaan, 3 Oktober 2005.

Beberapa hasil kesepakatan di antaranya warga tidak akan menghalangi pematokan lahan oleh perusahaan dan perusahaan menginventarisasi kembali lahan milik masyarakat. Perusahaan berjanji akan mengganti rugi lahan yang belum diganti rugi, sedangkan warga yang tidak mau memperoleh ganti rugi akan dikembalikan lahannya.

Mandor dari PT PAP, Restoteles, mengemukakan, pihaknya hingga Januari lalu telah membebaskan lahan seluas 580 hektar di Siju. Seluas 150 hektar di antaranya merupakan lahan milik warga Talang Nangka. Lahan tersebut dibeli Rp 500.000 per hektar.

Pihaknya telah mengantongi izin lokasi perkebunan sawit seluas 8.700 hektar, yang ditandatangani Bupati Banyuasin melalui Surat Keputusan Nomor 27 Tahun 2004. Izin lokasi itu meliputi Desa Suka Pindah, Desa Plajau, Desa Tanah Lembak, dan Desa Siju. Lahan yang telah dibebaskan sejumlah 1.100 hektar, dari 1.700 hektar lahan yang ditargetkan.

Restoteles keberatan apabila warga yang telah menjual lahan dan menerima uang ganti rugi lantas membatalkan penjualan mereka.

Belum lagi kesepakatan terlaksana, pembangunan perkebunan inti sawit berlanjut. Pada 12 Februari lalu, PT PAP mulai melakukan penanaman perkebunan kelapa sawit di Desa Suka Pindah.

Penanaman sawit di lahan sengketa itu dikecam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan. Dalam siaran persnya, Walhi menilai PT PAP lalai melakukan sosialisasi perizinan dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Kepala Divisi Hutan dan Perkebunan Walhi Anwar Sadat mengatakan, Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan menyebutkan, masyarakat yang terkena dampak pembangunan seharusnya dilibatkan dalam proses kegiatan.

Camat Rambutan Amir Fauzie menduga penolakan warga itu disebabkan mereka belum terbiasa dengan penanaman sawit. Penanaman padi sonor merupakan tradisi masyarakat.

Genderang perang tampaknya terus ditabuh. Sinarsyakh menyayangkan masyarakat kecil yang selalu dikalahkan oleh kepentingan pemilik modal besar.

Masih banyak lagi cerita muram tentang petani-petani yang kehilangan tanah dalam konflik agraria dengan perusahaan besar.

Puluhan ribu petani

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang Nurkholis mengungkapkan, sebanyak 32.000 petani yang memiliki 186.108 hektar lahan dikalahkan dalam kasus agraria di Sumsel sejak tahun 1993 sampai 1998. Selama tahun 2004-2005 jumlahnya menurun menjadi 3.174 petani yang dikalahkan dalam 15 kasus agraria. Mereka menjadi korban dari konflik tanah untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang akhirnya dimenangkan perusahaan besar.

Setelah dikalahkan, para petani korban konflik kehilangan tanah yang diandalkan untuk mencari nafkah sehingga menjadi miskin. Ketika berusaha merebut kembali tanahnya, petani sering diintimidasi, dicap kiri, dikriminalkan, bahkan dipenjara. Sejak tahun 1999 sampai 2002, setidaknya ada 20-an petani yang dipenjara setiap tahunnya. Salah satunya, Subowo, petani asal Desa Wonorejo.

Para petani yang kehilangan tanah menjadi asing dengan proses produksi. Mereka akhirnya menjadi buruh di kampung halaman mereka sendiri dengan upah yang minim. Kondisi yang memprihatinkan itu terjadi karena mereka kesulitan mencari alternatif kerja yang layak di desa.

”Anak-anak kami tidak bisa lagi menggarap sawah yang sudah hilang. Mereka mencari kerja serabutan ke luar,” kata Mariyem (60), petani lain di Desa Wonorejo, yang memiliki dua hektar lahan yang diserobot PT MMM.

Secara terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib mengatakan, perkebunan kelapa sawit di Sumsel saat ini mencapai sekitar 551.000 hektar. Sekitar 300.000 hektar di antaranya milik rakyat, sedangkan 251.000 hektar dikelola perusahaan besar. Perkebunan ini termasuk sektor andalan yang menyerap tenaga kerja besar, yaitu sekitar 150.000 keluarga petani.

Namun, Syamuil mengakui, hingga kini terdapat sekitar 38.000 hektar perusahaan di Sumsel tersangkut berbagai masalah pertanahan. Masalah itu, antara lain adanya lahan perkebunan yang dianggap merambah kawasan hutan, diklaim kepemilikan oleh sekelompok masyarakat, atau ketidakjelasan batas wilayah setelah terjadi pemekaran kabupaten baru dalam rangka otonomi daerah.

KETAHANAN PANGAN BUKAN SEKEDAR PERSOALAN PERTANIAN TETAPI SOAL HIDUP ATAU MATI

Saat ini tingkat kesejahteraan petani masih dinggap yang paling rendah di Indonesia. Permasalahan yang ada di sektor pertanian masih dianggap pada tataran teknis saja. Padahal untuk meningkatkan kesejahteraan petani perlu diperhatikan hal-hal diluar teknis pertanian. Misalnya dalam hal manajemen dan usaha tani, agar posisi tawar petani menjadi tinggi sehingga tidak dipermainkan oleh pihak lain. Dalam hal ini sudah menjadi tugas kita yang bergerak di bidang sosial ekonomi pertanian untuk membantu petani memberikan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan agribisnis serta teknologi baru dalam rangaka meningkatkan kesejahteraan petani.

Kondisi pertanian di Indonesia yang masih labil, salah satunya disebabkan karena tidak diperkuat oleh profil lulusan dari pertanian. Kebanyakan dari mereka keluar jalur dari bidang pertanian setelah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian. Saat ini yang bergelut di bidang pertanian baik dalam tataran pembuat kebijakan maupun di kalangan petani masih di dominasi oleh angkatan kerja yang telah lama. Tidak adanya regenerasi Ini menunjukkan bahwa profesionalitas dikalangan mahasiswa sosial ekonomi pertanian rendah. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk meningkatkanya mengingat bidang pertanian tidak pernah tidak dibutuhkan di masa yang akan datang.

Fakta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana urusan beras, gula, minyak goreng dan jenis pangan pokok lainnya masih menjadi berita utama dalam berbagai media massa. Hati kita tentunya meringis apabila kita menyaksikan betapa rakyat kecil masih harus berdiri berjejer dalam antrian panjang untuk mendapatkan bahan pokok seperti beras. Bahkan perasaan kita akan tersentak apabila akhirnya mereka berebutan untuk hanya sekedar mendapatkan makanan yang mereka perlukan. Sambil mengelus dada, kita sering mendengar perkataan yang membesarkan hati, tanpa maksud menerima keadaan tersebut terus terjadi.  Masih untung negeri kita tidak seperti apa yang terjadi di Afrika. Akibat kelaparan manusia sudah tidak lagi menjadi makhluk yang mulia.

Persoalan yang lebih pelik lagi adalah kemiskinan para petani pangan kita, yang menggambarkan adanya situasi paradoks dari sebutannya sebagai petani. Masa iya sesorang bisa disebut sebagai petani apabila ia kekurangan pangan pada masa paceklik atau membeli beras pada saat setelah panen? Ini sungguh fenomena luar biasa yang semestinya tidak pernah terjadi. Tapi begitulah faktanya, statistik kita menunjukkan lebih dari setengahnya petani kita adalah petani gurem (kepemilihan lahan kurang dari 0,5 ha). Belum lagi kita bicara buruh tani atau keluarga yang jenis pekerjaannya tidak jelas. Jadi, dimana letaknya kemajuan itu? Dimana adanya kemakmuran itu apabila menghadapi persoalan pangan saja kita masih harus penuh dengan perasaan khawatir.  Inilah persoalan hidup atau mati bangsa dan negara kita tercinta apabila kita tidak bisa mengatasinya segera.