Saturday 5 June 2010

Di Balik Hijaunya Kebun Sawit

Di balik hamparan pohon kelapa sawit yang menghijau di Sumatera, tersimpan cerita muram tentang ribuan petani. Sebagai pemilik lahan, mereka sering dikalahkan atau terkalahkan oleh kapitalis yang ”menjarah” kebun mereka.

Mulanya petani desa memiliki sawah atau kebun yang diandalkan untuk menyambung kehidupan keluarga. Namun, kemudian datang perusahaan besar, dengan berbagai cara, berhasil menguasai tanah itu untuk dijadikan kebun sawit.

Sebagian petani mau melepaskan tanahnya karena dijanjikan menjadi plasma dari lahan inti kebun sawit perusahaan. Namun, janji itu palsu. Tanah yang dipertahankan petani dibeli murah, diganti rugi, atau ditipu secara halus. Para petani korban pun kehilangan tanah produksi sehingga mereka jatuh miskin.

Salah satu cerita muram itu terus diingat warga Desa Wonorejo, Kecamatan Kikim Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Tanah pertanian seluas 56,5 hektar milik 25 petani diserobot PT Multrada Muti Maju (MMM) tahun 1993. Sampai sekarang tanah itu dikuasai perusahaan dan ditanami kelapa sawit, sebagian sudah dipanen berkali-kali.

Padahal, menurut para petani, tanah tersebut merupakan tanah adat yang diberikan Pesirah Lawang Kulon atau pengurus desa kepada petani di desa tersebut sekitar tahun 1982. Subowo (65), salah seorang petani, mengungkapkan, tanah tersebut merupakan hak milik 25 petani secara sah. ”Perusahaan besar telah menyerobot dua hektar tanah saya dan milik petani lain tanpa ganti rugi sama sekali. Kami sudah berjuang untuk merebut tanah itu, tetapi malah dianggap kriminal,” katanya.

Ratusan kilometer dari Desa Wonorejo, tepatnya di Dusun Bungkal, Desa Pagardesa, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, anggota suku Anak Dalam juga menuturkan cerita muram. Sebanyak 35 keluarga anggota suku yang tinggal di tepi Sungai Lalan itu kehilangan tanah adat yang diserobot perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1996. Terakhir, 435 hektar tanah adat diambil PT Bahar Pasifik untuk ditanami kelapa sawit, tanpa ganti rugi.

”Kami sudah tinggal di sini sejak ratusan tahun lalu, sedangkan perusahaan itu baru masuk sekitar tahun 1996. Tetapi, kenapa tanah kami diserobot begitu saja?” kata Kepala Suku Anak Dalam di Dusun Bungkal, Dul Sahri, bertanya-tanya.

Sebanyak 70 keluarga suku Anak Dalam yang tinggal di Tanjung Lebar, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, juga telah terusir dari tanah adat akibat pengembangan kelapa sawit bermodal asing sejak pertengahan tahun 2005.

Lahan adat

Lain lagi yang dialami warga Desa Siju dan Desa Talang Nangka di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, yang sejak Maret 2005 gencar menolak pengalihan lahan padi mereka untuk kebun sawit.

Warga dua desa menolak lahan mereka dijual ke PT Patri Agung Perdana (PAP) untuk dijadikan lahan inti perkebunan sawit. Lahan itu adalah lahan adat yang terletak di Siju. Di lahan tersebut warga secara turun-temurun menanam padi sonor atau tebar untuk sumber pangan mereka.

Satu hektar lahan padi sonor menghasilkan 300-400 kaleng beras, atau setara dengan empat ton beras. Terbiasa mengonsumsi beras hasil panen sendiri, sejumlah warga Siju dan Talang Nangka mengaku tidak terpengaruh ketika harga beras terus naik di pasaran.

Karena menunggu lahan kering dan kemarau panjang, penanaman padi sonor umumnya berlangsung 3-5 tahun sekali.

Lahan yang sedang tidak ditanami padi tetap bermanfaat bagi masyarakat. Mereka dapat mengembangkan budidaya ikan yang hasilnya dijual atau dikonsumsi sendiri.

Kini mereka resah karena lahannya dijual ke perusahaan tanpa sepengetahuan mereka. Mereka tidak mendapat ganti rugi atas pembebasan lahan itu. Sebagian warga lainnya menerima uang tanpa mengetahui bahwa lahan mereka telah beralih kepemilikan.

”Padi sonor dapat memenuhi kebutuhan beras warga selama bertahun-tahun. Penjualan lahan jelas merugikan warga,” kata Sinarsyakh, Ketua Gerakan Perjuangan Tanah Adat Desa Siju.

Mat Cutik, warga RT 02 Kampung 2, Talang Nangka, mengaku tidak diberi tahu ketika lahan miliknya seluas tiga hektar di Desa Siju dijual ke PT PAP. Padahal, setiap panen, lahan itu memberinya empat ton padi yang cukup untuk kebutuhan selama empat tahun.

Menurut Sinarsyakh, terdapat sekitar 300 warga di desanya yang menolak pengalihan lahan itu. Melalui proses yang cukup panjang, dengan pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, warga menuntut dikeluarkannya lahan mereka dari areal PT PAP.

Protes warga itu disikapi perusahaan dan aparat kecamatan melalui pembuatan kesepakatan bersama antara warga dan perusahaan, 3 Oktober 2005.

Beberapa hasil kesepakatan di antaranya warga tidak akan menghalangi pematokan lahan oleh perusahaan dan perusahaan menginventarisasi kembali lahan milik masyarakat. Perusahaan berjanji akan mengganti rugi lahan yang belum diganti rugi, sedangkan warga yang tidak mau memperoleh ganti rugi akan dikembalikan lahannya.

Mandor dari PT PAP, Restoteles, mengemukakan, pihaknya hingga Januari lalu telah membebaskan lahan seluas 580 hektar di Siju. Seluas 150 hektar di antaranya merupakan lahan milik warga Talang Nangka. Lahan tersebut dibeli Rp 500.000 per hektar.

Pihaknya telah mengantongi izin lokasi perkebunan sawit seluas 8.700 hektar, yang ditandatangani Bupati Banyuasin melalui Surat Keputusan Nomor 27 Tahun 2004. Izin lokasi itu meliputi Desa Suka Pindah, Desa Plajau, Desa Tanah Lembak, dan Desa Siju. Lahan yang telah dibebaskan sejumlah 1.100 hektar, dari 1.700 hektar lahan yang ditargetkan.

Restoteles keberatan apabila warga yang telah menjual lahan dan menerima uang ganti rugi lantas membatalkan penjualan mereka.

Belum lagi kesepakatan terlaksana, pembangunan perkebunan inti sawit berlanjut. Pada 12 Februari lalu, PT PAP mulai melakukan penanaman perkebunan kelapa sawit di Desa Suka Pindah.

Penanaman sawit di lahan sengketa itu dikecam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan. Dalam siaran persnya, Walhi menilai PT PAP lalai melakukan sosialisasi perizinan dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Kepala Divisi Hutan dan Perkebunan Walhi Anwar Sadat mengatakan, Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan menyebutkan, masyarakat yang terkena dampak pembangunan seharusnya dilibatkan dalam proses kegiatan.

Camat Rambutan Amir Fauzie menduga penolakan warga itu disebabkan mereka belum terbiasa dengan penanaman sawit. Penanaman padi sonor merupakan tradisi masyarakat.

Genderang perang tampaknya terus ditabuh. Sinarsyakh menyayangkan masyarakat kecil yang selalu dikalahkan oleh kepentingan pemilik modal besar.

Masih banyak lagi cerita muram tentang petani-petani yang kehilangan tanah dalam konflik agraria dengan perusahaan besar.

Puluhan ribu petani

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang Nurkholis mengungkapkan, sebanyak 32.000 petani yang memiliki 186.108 hektar lahan dikalahkan dalam kasus agraria di Sumsel sejak tahun 1993 sampai 1998. Selama tahun 2004-2005 jumlahnya menurun menjadi 3.174 petani yang dikalahkan dalam 15 kasus agraria. Mereka menjadi korban dari konflik tanah untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang akhirnya dimenangkan perusahaan besar.

Setelah dikalahkan, para petani korban konflik kehilangan tanah yang diandalkan untuk mencari nafkah sehingga menjadi miskin. Ketika berusaha merebut kembali tanahnya, petani sering diintimidasi, dicap kiri, dikriminalkan, bahkan dipenjara. Sejak tahun 1999 sampai 2002, setidaknya ada 20-an petani yang dipenjara setiap tahunnya. Salah satunya, Subowo, petani asal Desa Wonorejo.

Para petani yang kehilangan tanah menjadi asing dengan proses produksi. Mereka akhirnya menjadi buruh di kampung halaman mereka sendiri dengan upah yang minim. Kondisi yang memprihatinkan itu terjadi karena mereka kesulitan mencari alternatif kerja yang layak di desa.

”Anak-anak kami tidak bisa lagi menggarap sawah yang sudah hilang. Mereka mencari kerja serabutan ke luar,” kata Mariyem (60), petani lain di Desa Wonorejo, yang memiliki dua hektar lahan yang diserobot PT MMM.

Secara terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib mengatakan, perkebunan kelapa sawit di Sumsel saat ini mencapai sekitar 551.000 hektar. Sekitar 300.000 hektar di antaranya milik rakyat, sedangkan 251.000 hektar dikelola perusahaan besar. Perkebunan ini termasuk sektor andalan yang menyerap tenaga kerja besar, yaitu sekitar 150.000 keluarga petani.

Namun, Syamuil mengakui, hingga kini terdapat sekitar 38.000 hektar perusahaan di Sumsel tersangkut berbagai masalah pertanahan. Masalah itu, antara lain adanya lahan perkebunan yang dianggap merambah kawasan hutan, diklaim kepemilikan oleh sekelompok masyarakat, atau ketidakjelasan batas wilayah setelah terjadi pemekaran kabupaten baru dalam rangka otonomi daerah.

No comments: